Selasa, 11 Desember 2012

Tempat tinggal (Awal Mula dan Nilai Tradisi Kerapan Sapi)



Kerapan Sapi merupakan tradisi khas masyarakat Madura yang muncul di penghujung abad 13 atas prakarsa Pangeran Katandur. Beliau adalah Raja berpengaruh pada masanya di Kraton Sumenep. Ketika itu, Kerapan Sapi atau Bull Race menjadi kesenian paling populer dan paling diminati masyarakat Madura.

Sumber lain menyebutkan bahwa Bull Race bukan muncul di akhir abad 13 melainkan pada abad 14 atas prakarsa Adi Poday, anak Panembahan Walingi yang berkuasa di daerah kepulauan Sapudi. Kini, pulau Sapudi masuk Kabupaten Sumenep. Kehidupan masyarakat di pulau Sapudi adalah dengan bercocok tanam dan membajak sawahnya dengan menggunakan tenaga Sapi atas izin dan dukungan Adi Poday. Berkat prakarsa itu, Adi Poday berhasil membuat pertanian di pulau Sapudi lebih maju dari tahun-tahun sebelumnya. Setelah itu, ia pergi ke Sumenep.

Di Sumenep beliau mengajak masyarakat membajak sawahnya dengan menggunakan tenaga Sapi juga. Akhirnya, semua masyarakat membajak sawah dengan menggunakan tenaga Sapi. Bahkan, lambat-laun mereka balapan atau adu cepat dalam setiap membajak sawahnya. Atas dasar semangat itu, kemudian diadakan perlombaan balapan Sapi, yang kini dikenal dengan tradisi Kerapan Sapi. Kedua tradisi itu, membajak sawah dengan tenaga Sapi dan Kerapan Sapi masih dilestarikan masyarakat Madura hingga sekarang. Di kampung-kampung dan persawahan Madura masih banyak yang menggunakan tenaga Sapi warisan Adi Poday untuk menggali hasil bumi.

Terlepas dari perdebatan sejarah, Kerapan Sapi tetap menjadi perlombaan yang harus dilestarikan dan kebanggaan masyarakat Madura. Sesuai dengan namanya, “kerapan” berasal dari kata “kerap” : berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”. Orang Madura menyebut Kerapan Sapi adalah pacuan Sapi (adduen sapeh), mengadu Sapi sehingga bisa lebih cepat sampai ke garis finish. Penting diketahui, di pulau yang terkenal masyarakat agamis ini tidak hanya terdapat kerapan Sapi, tetapi banyak pacuan-pacuan lain seperti Kerapan Kerbau (Pulau Kangean), Kerapan Kambing dan Kerapan Kelinci.

Dalam perkembangannya. Kerapan Sapi melibatkan beberapa orang untuk menyukseskan perlombaan, tidak seperti dulu (sebagaimana membajak sawah) yang hanya butuh satu orang. Orang-orang yang terlibat dalam setiap perlombaan Bull Race di antaranya; pertama, tokang tongko’, orang yang bertanggungjawab mengendalikan Sapi di atas kaleles. Cepat lambat dan lurusnya jalan Sapi di lapangan sangat bergantung kepada tokoang tongko’ itu. Kedua, tokang gettak, orang yang menggertak Sapi agar pada saat diberi aba-aba, Sapi dapat lari dengan cepat. Pancalan awal Sapi bisa berangkat dengan cepat atau tidak bergantung kepada tokang gettak. Ketiga, tokang tonja, orang yang menuntun Sapi. Sapi Kerapan biasanya tanpa dikendalikan oleh ahlinya akan mudah ghebel (lari tak tentu arah), ini kemudian membutuhkan tokang tonja untuk mengendalikan Sapi. Ketiga, tukang gubra, rombongan yang bertugas memberi semangat pada Sapi pacuan agar larinya cepat. Rombongan ini biasanya membunyikan segala macam tabuhan semacam saronin sehingga Sapi terlihat tegar dan bersemangat. Terakhir, tokang tambeng, orang yang menahan tali kekang (tongar) Sapi sebelum dilepas.

Nilai Tradisi yang Perlu di Lestarikan
Kerapa Sapi mengandung nilai Tradisi yang sangat tinggi terutama bagi masyaraka Madura. Hal ini menjadi munculnya semangat kerja keras orang madura yang pantang menyerah. Filosofi orang Madura asapo’ angin salanjengah (berselimut angin sepanjang masa) merupakan semangat pantang menyerah sebelum mencapai tujuan. Nilai semangat juang tersebut juga tercermin dalam setiap prosesi Kerapan Sapi. Dalam Kerapan Sapi nilai-nilai yang patut dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan adalah kerja keras, kerja sama, persaingan, dan sportivitas.

Pertama, kerja keras, setiap orang yang ingin menggapai kesuksesan atau berusaha ingin mencapai cita-cita harus bekerja keras. Kerja keras disini tidak hanya sebatas mengandalkan otot tetapi juga otak. Sehingga ketika bekerja keras harus pula bekerja cerdas. Hal ini tergambar dalam proses latihan Sapi sebelum masuk ke arena perlombaan. Pemilik Sapi terlebih dahulu harus melatih Sapi dengan sabar dan terus menerus agar Sapi yang akan di pacu kuat dan tidak gugup ketika masuk ke lapangan yang sesak dengan penonton.

Kedua, kerja sama. Bagian ini merupakan kewajiaban yang tidak bisa dilepaskan. Dalam proses perlombaan Kerapan Sapi, harus melibatkan beberapa pihak lain seperti tokang tongko’, tokang gettak, tokang tonja, tokang tambeng dan lain-lain sehingga Sapi pacuan itu bisa sampai ke garis finish mendahului yang lain. Nilai kerja sama termaktub dalam usaha tersebut. Sebab, tanpa adanya kerjasama tidak mungkin Kerapan Sapi bisa berlangsung sesuai dengan ketentuan.

Ketiga, persaingan, dalam Kerapan Sapi peserta berusaha keras dengan harapan Sapi pacuannya berlari cepat dan mengalahkan pacuan-pacuan Sapi lain. Inilah nilai persaingan yang ketat menemukan maknanya. Keempat, dalam persaingan yang ketat, tidak boleh ada kecurangan, setiap peserta harus sportive. Tiap peserta tidak boleh curang; peserta harus menerima kekalahan bukan hanya bisa menerima kemenangan saja.

Dengan demikian, pesan-pesan moral dan semangat juang dalam tradisi Kerapan Sapi itu harus menjadi pedoman yang mesti dilestarikan. Tidak boleh hancur di telan masa, meski sebentar lagi, Madura akan menghadapi babak baru yakni menjelang selesainya Jembatan Suramadu (Surabaya—Madura), yang dikhawatirkan akan menenggelamkan tradisi-tradisi masyarakat Madura seperti Kerapan Sapi. Tetapi, tradisi masyarakat Madura harus tetap utuh dan tak boleh ambruk dan bahkan harus dikembangkan dan dijaga oleh masyarakat Madura sendiri.
http://cahayapemikiran.blogspot.com/2009/02/awal-mula-dan-nilai-tradisi-kerapan.html

Related Post:

Widget by [ Iptek-4u ]

0 komentar:

Posting Komentar