Bangkalan berasal dari kata “bangkah” dan ”la’an” yang artinya “mati sudah”. Istilah ini diambil dari cerita legenda tewasnya pemberontak
sakti Ki Lesap yang tewas di Madura Barat. Menurut beberapa sumber,
disebutkan bahwa Raja Majapahit yaitu Brawijaya ke V telah masuk Islam (
data kekunoan di Makam Putri Cempa di Trowulan, Mojokerto).
Namun demikian siapa sebenarnya yang dianggap Brawijaya ke V ini ?.
Didalam buku Madura en Zijin Vorstenhuis dimuat antara lain Stamboon van
het Geslacht Tjakradiningrat.
Dari Stamboon tersebut tercatat bahwa
Prabu Brawijaya ke V
memerintah tahun 1468–1478. Dengan demikian, maka yang disebut dengan
gelar Brawijaya ke V (Madura en Zijin Vorstenhuis hal 79) adalah
Bhre Krtabhumi dan mempunyai 2 (dua) orang anak dari dua istri selir.
Dari yang bernama Endang Sasmito Wati melahirkan Ario Damar dan dari
istri yang bernama Ratu Dworo Wati atau dikenal dengan sebutan Putri
Cina melahirkan Lembu Peteng. Selanjutnya Ario Damar (Adipati Palembang)
mempunyai anak bernama Menak Senojo.
Menak Senojo tiba di Proppo Pamekasan dengan menaiki bulus
putih dari Palembang kemudian meneruskan perjalannya ke Barat
(Bangkalan). Saat dalam perjalanan di taman mandi Sara Sido di Sampang pada tengah malam Menak Senojo
mendapati banyak bidadari mandi di taman itu, oleh Menak Senojo pakaian
salah satu bidadari itu diambil yang mana bidadari itu tidak bisa
kembali ke kayangan dan akhirnya jadi istri Menak Senojo.
Bidadari tersebut bernama Nyai Peri Tunjung Biru Bulan atau disebut juga Putri Tunjung Biru Sari. Menak Senojo dan Nyai Peri Tunjung Biru Bulan mempunyai anak Ario Timbul. Ario Timbul mempunyai anak Ario Kudut. Ario Kudut mempunyai anak Ario Pojok.
Sedangkan di pihak Lembu Peteng yang bermula tinggal di Madegan Sampang
kemudian pindah ke Ampel (Surabaya) sampai meninggal dan dimakamkan di
Ampel, Lembu Peteng mempunyai anak bernama Ario Manger yang menggantikan
ayahnya di Madegan Sampang. Ario Manger mempunyai anak Ario Pratikel yang semasa hidupnya tinggal di Gili Mandangin (Pulau Kambing). Dan Ario Pratikel mempunyai anak Nyai Ageng Budo.
Nyai Ageng Budo inilah yang kemudian kawin dengan Ario Pojok.
Dengan demikian keturunan Lembu Peteng menjadi satu dengan keturunan
Ario Damar. Dari perkawinan tersebut lahirlah Kiai Demang yang
selanjutnya merupakan cikal bakal Kota Baru dan kemudian disebut
Plakaran. Jadi Kiai Demang bertahta di Plakaran Arosbaya dan ibukotanya
Kota Baru (Kota Anyar) yang terletak disebelah Timurdaya Arosbaya. Dari
perkawinannya dengan Nyai Sumekar mempunyai 5 (lima) orang anak yaitu :
- Kiai Adipati Pramono di Madegan Sampang.
- Kiai Pratolo disebut juga Pangeran Parambusan.
- Kiai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen .
- Pangeran Paningkan disebut juga dengan nama Pangeran Suka Sudo .
- Kiai Pragalbo yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena bertahta
di Plakaran, setelah meninggal dikenal sebagai Pangeran Islam Onggu’ .
Namun perkembangan Bangkalan bukan berasal dari legenda ini,
melainkan diawali dari sejarah perkembangan Islam di daerah itu pada
masa pemerintahan Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur.
Beliau adalah anak Raja Pragalba,
pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, sekitar 20 km dari
kota Bangkalan ke arah utara. Panembahan Pratanu diangkat sebagai raja
pada 24 Oktober 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalba wafat. Jauh sebelum
pengangkatan itu, ketika Pratanu masih dipersiapkan sebagai pangeran,
dia bermimpi didatangi orang yang menganjurkan dia memeluk agama Islam.
Mimpi ini diceritakan kepada ayahnya yang kemudian memerintahkan patih
Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus.
Perintah ini dilaksanakan sebaik-baiknya,
bahkan Bageno bersedia masuk Islam sesuai saran Sunan Kudus sebelum
menjadi santrinya selama beberapa waktu lamanya. Ia kembali ke Arosbaya
dengan ilmu keislamannya dan memperkenalkannya kepada Pangeran Pratanu.
Pangeran ini sempat marah setelah tahu Bageno
masuk Islam mendahuluinya. Tapi setelah dijelaskan bahwa Sunan Kudus
mewajibkannya masuk Islam sebelum mempelajari agama itu, Pangeran
Pratanu menjadi maklum.
Setelah ia sendiri masuk Islam dan mempelajari agama
itu dari Empu Bageno, ia kemudian menyebarkan agama itu ke seluruh
warga Arosbaya. Namun ayahnya, Raja Pragalba, belum tertarik untuk masuk
Islam sampai ia wafat dan digantikan oleh Pangeran Pratanu.
Perkembangan Islam itulah yang dianut oleh pimpinan di Kabupaten
Bangkalan ketika akan menentukan hari jadi kota Bangkalan, bukan
perkembangan kekuasan kerajaan di daerah itu.
Jauh sebelum Pangeran Pratanu dan Empu Bageno menyebarkan Islam, sejumlah kerajaan kecil di Bangkalan.
Diawali dari Kerajaan Plakaran yang didirikan oleh Kyai Demang dari
Sampang. Yang diperkirakan merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit yang
sangat berpengaruh pada saat itu.
Kyai Demang menikah dengan Nyi Sumekar, yang diantaranya melahirkan
Raden Pragalba. Pragalba menikahi tiga wanita. Pratanu adalah anak
Pragalba dari istri ketiga yang dipersiapkan sebagai putera mahkota dan
kemudian dikenal sebagai raja Islam pertama di Madura.
Pratanu menikah dengan putri dari Pajang yang memperoleh keturunan lima orang :
- Pangeran Sidhing Gili yang memerintah di Sampang.
- Raden Koro yang bergelar Pangeran Tengah di Arosbaya, Raden Koro menggantikan ayahnya
- ketika Pratanu wafat.
- Pangeran Blega yang diberi kekuasaan di Blega.
- Ratu Mas di Pasuruan dan Ratu Ayu.
Kerajaan Arosbaya runtuh diserang oleh Mataram pada masa pemerintahan Pangeran Mas pada tahun 1624.
Pada pertempuran ini Mataram kehilangan panglima perangnya, Tumenggung
Demak, beberapa pejabat tinggi kerajaan dan sebanyak 6.000 prajurit
gugur.
Korban yang besar ini terjadi pada pertempuran mendadak pada hari Minggu, 15
September 1624, yang merupakan perang besar. Laki-laki dan perempuan
kemedan laga. Beberapa pejuang laki-laki sebenarnya masih bisa tertolong
jiwanya. Namun ketika para wanita akan menolong mereka melihat luka
laki-laki itu berada pada punggung, mereka justru malah membunuhnya.
Luka di punggung itu menandakan bahwa mereka melarikan diri,
yang dianggap menyalahi jiwa ksatria. Saat keruntuhan kerajaan itu,
Pangeran Mas melarikan diri ke Giri. Sedangkan Prasena (putera ketiga
Pangeran Tengah) dibawa oleh Juru Kitting ke Mataram, yang kemudian
diakui sebagai anak angkat oleh Sultan Agung dan dilantik menjadi
penguasa seluruh Madura yang berkedudukan di Sampang dan bergelar
Tjakraningrat I. Keturunan Tjakraningrat inilah yang kemudian
mengembangkan pemerintahan kerajaan baru di Madura, termasuk Bangkalan.
Tjakraningrat I menikah dengan adik Sultan Agung. Selama
pemerintahannya ia tidak banyak berada di Sampang, sebab ia diwajibkan
melapor ke Mataram sekali setahun ditambah beberapa tugas lainnya.
Sementara kekuasaan di Madura diserahkan kepada Sontomerto.
Dari perkawinannya dengan adik Sultan Agung, Tjakraningrat
tidak mempunyai keturunan sampai istrinya wafat. Baru dari
pernikahannya dengan Ratu Ibu ( Syarifah Ambani, keturunan Sunan Giri ),
ia memperoleh tiga orang anak dan beberapa orang anak lainnya diperoleh
dari selirnya (Tertera pada Silsilah yang ada di Asta Aer Mata Ibu.
Bangkalan berkembang mulai tahun 1891 sebagai pusat kerajaan dari
seluruh kekuasaan di Madura, pada masa pemerintahan Pangeran
Tjakraningrat II yang bergelar Sultan Bangkalan II. Raja ini banyak
berjasa kepada Belanda dengan membantu mengembalikan kekuasaan Belanda
di beberapa daerah di Nusantara bersama tentara Inggris.
Karena jasa-jasa Tjakraningrat II itu,
Belanda memberikan izin kepadanya untuk mendirikan militer yang disebut
‘Corps Barisan’ dengan berbagai persenjataan resmi modern saat itu.
Bisa dikatakan Bangkalan pada waktu itu merupakan gudang senjata,
termasuk gudang bahan peledak. Namun perkembangan kerajaan di Bangkalan
justru mengkhawatirkan Belanda setelah kerajaan itu semakin kuat,
meskipun kekuatan itu merupakan hasil pemberian Belanda atas jasa-jasa
Tjakraningrat II membantu memadamkan pemberontakan di beberapa daerah.
Belanda ingin menghapus kerajaan itu. Ketika Tjakraningrat II wafat,
kemudian digantikan oleh Pangeran Adipati Setjoadiningrat IV yang
bergelar Panembahan Tjokroningrat VIII, Belanda belum berhasil menghapus
kerajaan itu. Baru setelah Panembahan Tjokroadiningrat wafat, sementara
tidak ada putera mahkota yang menggantikannya, Belanda memiliki
kesempatan menghapus kerajaan yang kekuasaannya meliputi wilayah Madura
itu.
Raja Bangkalan Dari Tahun 1531 – 1882
- Tahun 1531 – 1592 : Kiai Pratanu (Panembahan Lemah Duwur)
- Tahun 1592 – 1620 : Raden Koro (Pangeran Tengah)
- Tahun 1621 – 1624 : Pangeran Mas
- Tahun 1624 – 1648 : Raden Prasmo (Pangeran Cakraningrat I)
- Tahun 1648 – 1707 : Raden Undakan (Pangeran Cakraningrat II)
- Tahun 1707 – 1718 : Raden Tumenggung Suroadiningrat
- · (Pangeran Cakraningrat III)
- · Tahun 1718 – 1745 : Pangeran Sidingkap (Pangeran Cakraningrat IV)
- Tahun 1745 – 1770 : Pangeran Sidomukti (Pangeran Cakraningrat V)
- Tahun 1770 – 1780 : Raden Tumenggung Mangkudiningrat
- (Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VI)
- Tahun 1780 – 1815 : Sultan Abdu/Sultan Bangkalan I
- · (Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VII)
- · Tahun 1815 – 1847 : Sultan Abdul Kadirun (Sultan Bangkalan II)
- Tahun 1847 – 1862 : Raden Yusuf (Panembahan Cakraadiningrat VII)
- Tahun 1862 – 1882 : Raden Ismael (Panembahan Cakraadiningrat VIII)
Menggali Sejarah Bangkalan, Selanjutnya
Dari Pra Islam Hingga Cakraningrat Madura Barat (Bangkalan) Masa
Hindu dan Budha Dari Plakaran Ke Arosbaya, Pragalba ke Pratanu (Lemah
Dhuwur) Cakraningrat I Anak Angkat Sultan Agung Madura Barat (Bangkalan)
Masa Hindu dan Budha Bangkalan, Bangkalan dulunya lebih dikenal dengan
sebutan Madura barat. Penyebutan ini, mungkin lebih ditekankan pada
alasan geografis. Soalnya, Kabupaten Bangkalan memang terletak di ujung
barat Pulau Madura. Dan, sejak dulu, Pulau Madura memang sudah
terbagi-bagi.
Bahkan, tiap bagian memiliki sejarah dan legenda sendiri-sendiri.
Berikut laporan wartawan Radar Madura di Bangkalan, Risang Bima Wijaya
secara bersambung. Menurut legenda, sejarah Madura barat bermula dari
munculnya seorang raja dari Gili Mandangin (sebuah pulau kecil di selat
Madura) atau lebih tepatnya di daerah Sampang.
Nama raja tersebut adalah Lembu Peteng, yang masih merupakan putra
Majapahit hasil perkawinan dengan putri Islam asal Campa. Lembu Peteng
juga seorang santri Sunan Ampel.
Dan, Lembu Peteng-lah yang dikenal sebagai penguasa Islam pertama di
Madura Barat. Namun dalam perkembangan sejarahnya, ternyata diketahui
bahwa sebelum Islam, Madura pernah diperintah oleh penguasa non muslim,
yang merupakan yang berasal dari kerajaan Singasari dan Majapahit. Hal
ini diperkuat dengan adanya pernyataan Tome Pires (1944 : 227) yang
mengatakan, pada permulaan dasawarsa abad 16, raja Madura belum masuk
Islam. Dan dia adalah seorang bangsawan mantu Gusti Pate dari Majapahit.
Pernyataan itu diperkuat dengan adanya temuan – temuan arkeologis, baik
yang bernafaskan Hindu dan Bhudda.
Temuan tersebut ditemukan di Desa Kemoning, berupa sebuah
lingga yang memuat inskripsi. Sayangnya, tidak semua baris kalimat dapat
terbaca. Dari tujuh baris yang terdapat di lingga tersebut, pada baris
pertama tertulis, I Caka 1301 (1379 M), dan baris terakhir tertulis,
Cadra Sengala Lombo, Nagara Gata Bhuwana Agong (Nagara: 1, Gata: 5,
Bhuwana: 1, Agong: 1) bila dibaca dari belakang, dapat diangkakan
menjadi 1151 Caka 1229 M. Temuan lainnya berupa fragmen bangunan kuno,
yang merupakan situs candi. Oleh masyarakat setempat dianggap reruntuhan
kerajaan kecil.
Juga ditemukan reruntuhan gua yang dikenal masyarakat dengan
nama Somor Dhaksan, lengkap dengan candhra sengkala memet bergambar dua
ekor kuda mengapit raksasa. Berangkat dari berbagai temuan itulah,
diperoleh gambaran bahwa antara tahun 1105 M sampai 1379 M atau
setidaknya masa periode Singasari dan Majapahit akhir, terdapat adanya
pengaruh Hindu dan Bhudda di Madura barat.
Sementara temuan arkeologis yang menyatakan masa klasik
Bangkalan, ditemukan di Desa Patengteng, Kecamatan Modung, berupa sebuah
arca Siwa dan sebuah arca laki-laki. Sedang di Desa Dlamba Daja dan
Desa Rongderin, Kecamatan Tanah Merah, terdapat beberapa arca, di
antaranya adalah arca Dhayani Budha.
Temuan lainnya berupa dua buah arca ditemukan di Desa
Sukolilo Barat Kecamatan Labang. Dua buah arca Siwa lainnya ditemukan di
pusat kota Bangkalan. Sementara di Desa Tanjung Anyar Bangkalan
ditemukan bekas Gapura, pintu masuk kraton kuno yang berbahan bata
merah. Di samping itu, berbagai temuan yang berbau Siwais juga ditemukan
di makam-makam raja Islam yang terdapat di Kecamatan Arosbaya. Arosbaya
ini pernah menjadi pusat pemerintahan di Bangkalan. Misalnya pada makam
Oggo Kusumo, Syarif Abdurrachman atau Musyarif (Syech Husen).
Pada jarak sekitar 200 meter dari makam tersebut ditemukan arca Ganesha dan arca Bhirawa berukuran besar.
Demikian pula dengan temuan arkeologis yang di kompleks Makam Agung
Panembahan Lemah Duwur, ditemukan sebuah fragmen makam berupa belalai
dari batu andesit. Dengan temuan-temuan benda kuno yang bernafaskan
Siwais di makam-makam Islam di daerah Arosbaya itu, memberi petunjuk
bahwa Arosbaya pernah menjadi wilayah perkembangan budaya Hindu.
Penemuan benda berbau Hindu pada situs-situs Islam tersebut
menandakan adanya konsinyuitas antara kesucian. Artinya, mandala Hindu
dipilih untuk membangun arsitektur Islam. Arosbaya merupakan pusat
perkembangan kebudayaan Hindu di Madura Barat (Bangakalan) semakin kuat
dengan adanmya temuan berupa bekas pelabuhan yang arsitekturnya
bernafaskan Hindu, dan berbentuk layaknya sebuah pelabuhan Cina.
(Risang Bima Wijaya) atas Dari Plakaran Ke Arosbaya, Pragalba ke
Pratanu (Lemah Dhuwur) Bangkalan, Radar.- Sosok Pratanu atau lebih
dikenal dengan Panembahan Lemah Duwur adalah putera Raja Pragalba. Dia
dikenal sebagai pendiri kerajaan kecil, yang berpusat di Arosbaya.
Masyarakat Bangakalan menokohkan Pratanu sebagai penyebar agama Islam
yang pertama di Madura.
Bahkan, putera Pragalba ini disebut-sebut sebagai pendiri masjid
pertama di Madura. Selain itu, Pratanulah yang mengawali hubungan dengan
daerah lain, yaitu Pajang dan Jawa. Perjalanan sejarah Bangkalan tidak
bisa dilepaskan dengan munculnya kekuasaan di daerah Plakaran, yang
selanjutnya disebut dengan Kerajaan Plakaran. Kerajaan ini diperkirakan
muncul sebelum seperempat pertama abad 16, yakni sebelum penguasa Madura
barat memeluk Islam.
Plakaran diawali dengan kedatangan Kiyai Demung dari Sampang. Dia
adalah anak dari Aria Pujuk dan Nyai Ageng Buda. Setelah menetap di
Plakaran, Kiyai Demung dikenal dengan nama Demung Plakaran. Dia
mendirikan kraton di sebelah barat Plakaran atau sebelah timur Arosbaya,
yang dinamakan Kota Anyar (Pa’ Kamar 1951: 113).
Sepeninggal Demung Plakaran, kekuasaan dipegang oleh Kiai Pragalba,
anaknya yang nomor lima. Pragalba mengangkat dirinya sebagai Pangeran
Plakaran dari Arosbaya. Selanjutnya meluaskan daerah kekuasaannya hingga
hampir seluruh Madura. Paragalba mempunyai tiga orang istri.
Pratanu adalah anak dari istri ketiganya. Semasa kekuasaan Pragalba
inilah agama Islam mulai disebarkan di Madura barat, yang dilakukan oleh
para ulama dari Giri dan Gresik. Penyebarannya meliputi daerah pesisir
pantai sekitar selat Madura pada abad ke-15 (FA Sutjipto Tirtoatmodjo
1983 : 13) Islam berkembang pesat sejak penyeberannya dilakukan secara
teratur oleh Syech Husen dari Ampel (Hamka 1981:137).
Bahkan, ia mendirikan masjid di Arosbaya. Menurut cerita masyarakat
Arosbaya, reruntuhan di sekitar makam Syech Husen adalah masjid yang
didirikannya. Namun meski Islam sudah masuk di Madura barat, Pragalba
belum memeluk Islam. Tetapi justru putranya Pratanu yang memeluk agama
Islam. Peristiwa tersebut ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi:
Sirna Pandawa Kertaning Nagara (1450 caka 1528 M).
Peristiwa tersebut berbarengan dengan pudarnya kekuasaan Majapahit
setelah dikuasai Islam tahun 1527 M. Selain itu, Kerajaan Plakaran
mengakui kekuasaan Demak, sehingga diperkirakan penerimaan Islam di
Madura bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Majapahit. Menjelang wafat,
Pragalba masuk Islam dengan menganggukkna kepala, karena itu dia
mendapat sebutan Pangeran Onggu’ (mengangguk, Red). Sepeninggalnya,
Pratanu naik tahta dengan gelar Panembahan Lemah Dhuwur. Itu terjadi
pada tahun 1531-1592.
Di masa pemerintahan Lemah Dhuwur inilah pusat pemerintahan Plakaran
dipindahkan ke Arosbaya. Karena itu, dia mendapat julukan sebagai
pendiri Kerajaan Arosbaya. Lemahlah Dhuwur yang mendirikan kraton dan
msajid pertama di Arosabaya. Selama masa pemerintahan Panembahan Lemah
Duwur, kerajaan Arosbaya telah meluaskan daerah kekuasaannya hingga ke
seluruh Madura barat, termasuk Sampang dan Blega.
Panembahan lemah Duwur mengawini putri Triman dari Pajang. Ini juga
menjadi bukti bahwa Lemah Duwur adalah penguasa Madura pertama yang
menjalinm hubungan dengan Jawa. Berdasarkan Tutur Madura Barat, Rafless
mengatakan bahwa Lemah Dhuwur adalah penguasa terpenting di daerah Jawa
Timur pada masa itu.
Panembahan Lemah Dhuwur wafat di Arosbaya pada tahun 1592 M setelah
kembali dari kunjungannya ke Panembahan Ronggo Sukowati di Pamekasan.
Sesuai dengan tradisi dia dimakamkan di kompleks Makam Agung Lemah
Dhuwur.
Selanjutnya kekuasaan Arosbaya dipegang oleh putranya yang bernama
Pangeran Tengah, hasil perkawinannya dengan puteri Pajang. Pangeran
Tengah berkuasa tahun 1592-1620. Di masa pemerintahan Pangeran Tengah
terjadi peristiwa terkenal yang disebut dengan 6 Desember 1596 berdarah,
karena saat itu telah gugur dua orang utusan dari Arosbaya yang dibunuh
oleh Belanda yaitu Patih Arosbaya Kiai Ronggo dan Penghulu Arosbaya
Pangeran Musarip. Sejak peristiwa itulah Arosbaya menyatakan perang
dengan Belanda.
Pangeran Tengah meninggal tahun 1620. Makamnya terletak di kompleks
makam Syech Husen, dan sampai sekarang dikeramatkan oleh masyarakat
setempat. Pengganti Pangeran Tengah adalah adiknya yang bernama Pangeran
Mas, yang berkuasa tahun 1621-1624. Sebetulnya yang berhak berkuasa
adalah putra Pangeran Tengah yang bernama Pangeran Prasena. Namun karena
masih kecil, dia diwakili oleh pamannya.
Di masa pemerintahan Pangeran Mas terjadi peristiwa
penyerangan Sultan Agung ke Arosbaya pada tahun 1624. Itulah yang
menyebabkan jatuhnya kerajaan Arosbaya. Sedang Pangeran Mas melarikan
diri ke Demak dan Pangeran Prasena dibawa oleh juru kitting ke Mataram.
Peperangan antara Mataram dan Arosbaya yang berlangsung pada
hari Minggu 15 Septeber 1624 tersebut, memang patut dikenang sebagai
perjuangan rakyat Madura. Saat itu Mataram harus membayar mahal, karena
mereka telah kehilangan panglima perang tertingginya, Tumenggung Demak
dan kehilangan 6000 prajurit.
Saat itu laki-laki dan wanita Arosbaya berjuang bersama. Ada sebuah
kisah menarik di sini. Dikisahkan saat di medan perang ada beberapa
prajurit lelaki yang mengeluh karena luka berat. Tetapi katika para
wanita melihat luka tersebut terdapat dibagian belakang, para wanita
tersebut menusuk prajurit tadi hingga tewas.
’’Lukanya di bagian belakang, artinya prajurit itu telah
berbalik lari, hingga dilukai di bagian punggungnya oleh musuh, mereka
pengecut dalam,’’ demikian kata-kata para wanita Arosbaya. atas
Cakraningrat I Anak Angkat Sultan Agung Prasena, putera Pangeran Tengah
dari Arosbaya disertai Pangeran Sentomerto, saudara dari ibunya yang
berasal dari Sampang, dibawa oleh Panembahan Juru Kitting beserta 1000
orang Sampang lainnya ke Mataram. Di Mataram Prasena diterima dengan
senang hati oleh Sultan Agung, yang sekanjutnya diangkat sebagai anak.
Bahkan, kemnudian Prasena dinobatkan sebagai penguasa Madura yang
bergelar Cakraningrat I. Dia dianugerahi hadiah uang sebesar 20 ribu
gulden dan berhak memakai payung kebesaran berwarna emas.
Sebaliknya, Cakraningrat I diwajibkan hadir di Mataram setahun
sekali. Karena selain menjadi penguasa Madura, dia juga punya
tugas-tugas penting di Mataram. Sementara pemerintahan di Sampang
dipercayakan kepada Pangeran Santomerto. Cakraningrat I kemudian menikah
dengan adik Sultan Agung, namun hingga istrinya, meninggal dia tidak
mendapat keturunan.
Kemudian Cakraningrat I menikah dengan Ratu Ibu, yang masih keturunan
Sunan Giri. Dari perkawinannya kali ini dia menmpunyai tiga orang anak,
yaitu RA Atmojonegoro, R Undagan dan Ratu Mertoparti. Sementara dari
para selirnya dia mendapatkan sembilan orang anak, salah satu di
antaranya adalah Demang Melaya. Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang
kemudian diganti oleh Amangkurat I, Cakraningrat harus menghadapai
pemberontakan Pangeran Alit, adik raja. Tusukan keris Setan Kober milik
Pangeran Alit menyebabkan Cakraningrat I tewas seketika.
Demikian pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat
ayahnya tewas dia segera menyerang Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama
seperti ayahnya. Cakraningrat I diganti oleh Undagan. seperti halnya
Cakraningrat I, Undagan yang bergelar Cakraningrat II ini juga lebih
banyak menghabiskan waktunya di Mataram. Di masa pemerintahannya,
terjadi pemberontakan putra Demang Melaya yang bernama Trunojoyo
terhadap Mataram. Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan
Cakraningrat II dan kemudian mengasingkannya ke Lodaya Kediri.
Pemberontakan Trunojoyuo ini mendapat dukungan dari rakyat Madura.
Karena Cakraningrat II dinilai rakyat Madura telah mengabaikan
pemerintahan Madura. Kekuatan yang dimiliki kubu Trunojoyo cukup besar
dan kuat, karena dia berhasil bekerja sama dengan Pangeran Kejoran dan
Kraeng Galesong dari Mataram. Bahkan, Trunojoyo mengawinkan putrinya
dengan putra Kraeng Galesong, unutk mempererat hubungan.
Tahun 1674
Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri
sebagai Raja Merdeka Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan
penguasa Mataram. Berbagai kemenangan terus diraihnya, misalnya,
kemenangannya atas pasukan Makassar (mei 1676 ) dan Oktober 1676
Trunojoyo menang atas pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom. Selanjutnya
Trunojoyo memakai gelar baru yaitu Panembahan Maduretna.
Tekanan-tekanan terhadap Trunojoyo dan pasukannya semakin berat sejak
Mataram menandatangani perjanjian kerjasama dengan VOC, tanggal 20 maret
1677.
Namun tanpa diduga Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram,
Plered. Sehingga Amangkurat harus menyingkir ke ke barat, dan meninggal
sebelum dia sampai di Batavia. Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit
dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo menyerah di lereng Gunung
Kelud pada tanggal 27 Desember 1679. Dengan padamnya pemberonrtakan
Trunojoyo. VOC kembali mengangkat Cakraningrat II sebagai penguasa di
Madura, karena VOC merasa Cakraningrat telah berjasa membantu pangeran
Puger saat melawan Amangkurat III, sehingga Pangeran Puger berhasil naik
tahta bergelar Paku Buwono I.
Kekuasaan Cakraningrat di Madura hanya terbatas pada Bangkalan, Blega
dan Sampang. Pemerintahan Madura yang mulanya ada di Sampang, oleh
Cakraningrat II dipindahkan ke Tonjung Bangkalan. Dan terkenal dengan
nama Panembahan Sidhing Kamal, yaitu ketika dia meninggal di Kamal tahun
1707, saat dia pulang dari Mataram ke Madura dalam usia 80 tahun.
Raden Tumenggung Sosrodiningrat menggantikan kedudukan ayahnya
sebagai Bupati Madura barat dengan gelar Cakraningrat III. Suatau saat
terjadi perselisihan antara Cakraningrat dengan menantunya, Bupati
Pamekasan yang bernama Arya Adikara. Untuk menghadapi pasukan dari
Pamekasan, Cakraningrat III meminta bantuan dari pasukan Bali.
Dimasa Cakraningrat inilah Madura betul-betul bergolak, terjadi
banyak peperangan dan pemberontakan di Madura. Tumenggung
Surahadiningrat yang diutus Cakraningrat untuk menghadapi pasukan
Pamekasan ternyata menyerang pasukan Cakraningrat sendiri dengan bantuan
pasukan Sumenep. Sekalipun Cakraningrat meninggal, pergolakan di Madura
masih terus terjadi. Cakraningrat III digantikan oleh Timenggung
Surahadiningrat dengan gelar Cakraningrat IV. Awal pemerintahan
Cakraningrat IV diwarnai banyak kekacauan. Pasukan Bali dibawah
kepemimpinan Dewa Ketut yang sebelumnya diminta datang oleh
Cakaraningrat III, datang dengan membawa 1000 prajurit. Tahu yang
meminta bantuan sudah meninggal dan situasi telah berubah, pasukan Bali
menyerang Tonjung. Cakraningrat yang sedang berada di Surabaya
memerintahkan adiknya Arya Cakranegara untuk mengusir pasukan Bali.
Tetapi Dewa Ketut berhasil membujuk Cakranegara untuk berbalik
menyerang Cakraningrat IV. Tetapi dengan bantuan VOC, Cakranoingrat IV
berhasil mengusir pasukan Arya Cakranegara dan Bali.
Kemudian dia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sambilangan. Suatau peristiwa yang terkenal dengan Geger Pacina (pemberontakan masyarakat Cina) juga menjalar ke Mataram. Cakraningrat IV bekerjasama dengan VOC memerangi koalisi Mataram dan Cina ini.
Namun hubungan erat antar Madura denga VOC tidak langgeng.
Cakraningrat menyatakan perang dengan VOC karena VOC telah berkali-kali
melanggar janji yang disepakati. Dengan bekerja sama dengan pasukan
Mengui Bali, Cakraningrat berhasil mengalahkan VOC dan menduduki Sedayu,
Lamongan, Jipang dan Tuban.
Cakranoingrat juga berhasil mengajak Bupati Surabaya, Pamekasan dan
Sumenep untuk bersekutu melawan VOC. Tapi Cakraningrat tampaknya harus
menerima kekalahan, setelah VOC mengerahkan pasukan dalam jumlah besar.
Cakraningrat dan dua orang putrinya berhasil melarikan diri ke
Banjarmasin, namun oleh Raja Bajarmasin dia ditangkap dan diserahkan
pada VOC.
Cakraningrat diasingkan ke Kaap De Goede Hoop (Tanjung Penghargaan).
dan meninggal di tempat pembuangannya, sehingga dia juga dikenal dengan
nama Panembahan Sidengkap.
Sumber Dinas Pariwisata Kab.bangkalan